Me..

Me..
Berinteraksi dengan sunyi...

Senin, 09 Mei 2011

Perempuan Jawa... Sudahkah aku seperti mereka??

Hari demi hari, berjalan seperti biasanya. Masih tetap 24 jam.. Namun, semakin dekat saja pada saatnya aku benar benar harus hidup mandiri.. Berdiri sendiri.. dan memiliki seorang suami.. Sering aku bercengkrama dengan Ibu.. Sebuah obrolan ringan, krna kondisi Ibu yg tidak memungkinkan untuk membicarakan permasalahan yg cukup berat dgn mempertimbangkan kesehatan beliau.. Sering aku bertanya, bagaimana selayaknya menjadi seorang wanita.. Bagaimana seorang wanita bersikap terhadap suaminya, dan masih banyak bagaimana-bagaimana yang lain.. 

Ada hal baru yang mungkin sebenarnya aku ketahui namun tak pernah kusadari akan laku seorang perempuan Jawa, yaitu Laku Melek..


SEBAGAI Istri, sudah seharusnya bangun lebih awal daripada suami, untuk menyiapkan sarapan. Menjelang tidur, ia juga harus terjaga lebih lama untuk mengurusi keperluan rumah tangga. Sebagai wanita Jawa, laku melek adalah warisan yang sejak lama dipraktikkan perempuan Jawa. Mereka memiliki porsi tidur lebih sedikit ketimbang suaminya. Kebiasaan itu bukan semata-mata karena kepadatan aktivitas, tapi sekaligus menggambarkan bentuk tatanan norma yang ada.
Perempuan yang telah berumah tangga umumnya memiliki kesibukan yang luar biasa banyak. Setiap pagi ia punya tugas menyiapkan sarapan, menyeduhkan kopi untuk suami, bahkan menyiapkan air hangat bagi anak-anak. Lebih siang, ia punya kesibukan membersihkan rumah, mencuci, belanja, dan masak. Semua aktivitas itu menuntut perempuan untuk bangun lebih awal.
Kerja Keras Kesibukan semacam itu juga dijumpai menjelang tidur. Meski suami dan anak-anak sudah tidur, umumnya perempuan masih terjaga. Mereka memiliki kewajiban tak tertulis untuk menghangatkan makanan, menyiapkan berbagai keperluan suami dan anak, sekaligus memastikan keperluan mereka esok hari.
Laku melek adalah representasi kerja keras perempuan Jawa. Mereka sanggup bekerja lebih lama, karena termotivasi membuktikan baktinya kepada keluarga, khususnya suami dan anak. Apa yang mereka lakukan bukan semata-mata karena banyaknya kesibukan, melainkan kesadaran untuk menghormati dan berbakti kepada suami. Sepertinya ada kepercayaan istri yang tidur mendahului suami adalah tindakan saru.
Laku melek sebagai gambaran pengabdian istri kepada suami mempunyai kaitan erat dengan fatsun lama yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Handayani (2004), perempuan sejak masa kanak-kanak dididik untuk berbakti kepada suami, sedangkan anak laki-laki dididik untuk bertanggung jawab terhadap keluarga.
Nasihat seperti itu sampai sekarang masih dipertahankan, sehingga selalu menginspirasi para perempuan untuk membuktikan bakti dan kesetiaannya. Selama ini melek tidak diartikan sebagai bentuk kesetiaan semata, tetapi rupa ketahanan perempuan dari godaan.
Jika tidur dianggap sebagai bentuk kenikmatan yang menggoda, sebagian perempuan Jawa tampaknya telah moksa dengan mementahkan godaan itu. Mereka lebih memilih menderita (menahan kantuk) daripada menikmati tidur namun melangkahi suami.
Tiga Karakter
Selain itu, laku melek menunjukkan tiga karakter yang sangat khas pada perempuan Jawa, yakni sabar, sumarah, sumeleh. Ketiga sikap inilah yang membedakan perempuan dari laki-laki pada entitas kebudayaan Jawa.
Sabar ditandai dengan sikap mereka yang kalem, sopan, tenang, dan mementingkan harmoni. Meski cenderung emosional, seorang perempuan jarang sekali menunjukkan sikap agresif. Mereka mampu mengungkap perasaan dengan tenang, meski kenyataan yang dialaminya terkadang sangat pahit.
Seorang istri yang mengetahui suaminya tak membawa uang setelah bekerja, kemungkinan kecil langsung memaki atau menghardik. Ia akan bertanya perihal kegagalan suami mendapat uang, lantas memberinya penguatan, baik saran maupun dukungan.
Sikap ini berbeda sekali dari laki-laki. Misalnya, saat mendapati meja makan kosong sepulang kerja, lelaki cenderung mengungkapkan kekecewaannya secara agresif, seperti mencemooh, memaki, bahkan menyerang.
Selain sabar, laku melek juga menggambarkan sikap sumarah atau pasrah. Dalam konteks hubungan suami-istri, sumarah tak berarti berputus asa atau mudah menyerah, melainkan bentuk kepercayaan yang total. Tidak tanggung-tanggung, istri yang sudah kepalang percaya kepada suami akan memercayakan segala urusan kepada suaminya. Masalah aset keluarga, misalnya, perempuan ikhlas menyerahkan urusan-urusan tersebut kepada suami.
Begitu pun saat sebuah keluarga merintis usaha, seringkali perempuan menyumbangkan bantaun besar, misalnya menjual perhiasan atau sejenisnya.
Kemampuan menahan kantuk merupakan gambaran sikapnya yang sumeleh: tahan terhadap penderitaan. Meskipun menemui beban hidup yang berat, perempuan Jawa tidak mudah berputus asa. Mereka dapat menerima segala situasi, bahkan yang tersulit sekalipun. Perempuan Jawa sangat pintar
menahan penderitaan, sekaligus memaknainya (Handayani, 2004).
Sikap sumeleh seringkali terpetik dari kisah-kisah kekerasan dalam rumah tangga. Seorang ibu, demi anak-anak dan keutuhan rumah tangganya, rela menahan derita meski kondisi rumah tangganya berantakan. Bahkan seringkali terpetik berita, ibu rumah tangga tetap tutup mulut meski bertahun-tahun mendapat tindak kekerasan suaminya.
Uniknya, di balik sikap nrimo yang ditunjukkan perempuan Jawa, tersimpan kekuatan besar. Dalam kondisi tertentu, mereka akan menunjukkan sikap cancut tali wanda, yang dalam konsepsi Jawa berarti sikap untuk terlibat, berperan, dan bertanggung jawab.
Di dalam buku Suluk Tambangraras yang di tulis pada tahun 1809 atas permintaan  Raja Paku Buwana V. Digambarkan bahwa sosok wanita jawa itu seperti lima jari. Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami. Ibarat Jari telunjuk, istri harus mentaati perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus bangga akan suaminya, bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis dengan suami. Dan ibarat jejenthik (jari kelingking), istri harus selalu berhati-hati, teliti, rajin dan terampil dalam melayani suami dan anak2nya...
Perempuan Jawa yang dalam kesehariannya bersikap andap asor justru seringkali mampu bangkit mengambil alih komando. Seperti yang dilakukan para buruh perempuan atau TKW, mereka tidak sekadar urun ide atau menentukan keputusan, namun berani juga mengambilalih peran sebagai tulang punggung keluarga... Dan tentunya, masih banyak karakter perempuan jawa yang lain yang dapat kujadikan panutan yang baik.. Terimakasih Ibu...
 
Duuuh Biyung...(Ibu..)
Bisakah aku Ibu...
Bisakah aku sepertimu...
Bisakan aku menjadi Istri yang baik...
Engkau panutanku, begitupun aku nantinya menjadi panutan bagi anak-anakku..
Engkau selalu memberikan contoh yang baik bagaimana menjadi seorang wanita yang baik..
Aku belajar darimu Ibu..
 
*Sebuah Dialog Hati.....
 

1 komentar: